Ada Apa Dengan Perasaan
Semudah inikah sebuah perasaan yang kau sakiti seperti ini, pernahkah kau ditinggalkan hanya karena kau tak berbakat dalam menerjemahkan perasaan seseorang? Pernahkah kau harus berjalan mundur secara teratur karena kebaikanku yang terlalu lugu untuk menganggap semuanya baik-baik saja? Pernahkah kau dihadapkan dengan sebuah pilihan, namun ketika kau memilih salah satu di antaranya maka kau kehilangan semuanya?
Aku yang katanya ditakdirkan memiliki kepekaan yang tinggi hanya bisa dalam kebodohan bahwa aku terlalu erat menggenggam hingga kamu enggan. Aku harus segera berkemas agar potongan hati kita tak lagi tercecer di jalan. Kamu sudah lama berkemas rupanya sampai-sampai kini engkau sudah siap dengan perjalanan hidup yang baru. Segera pergilah! Bukankah kau tahu bahwa seluruh wanita di dunia memiliki kode yang aneh. Tak mengapa aku melepasmu. Pergilah! Sebelum kau mengerti kode itu, karena aku takut kau lupa bahwa aku salah satu yang tidak mengetahui kode perempuan.
Akhirnya setelah sekian lama aku tumbuh dengan perasaan berdebar, kini aku harus membunuhnya dengan tak sabar. Aku sempat berpikir tentang kejadian di mana kamu lebih memilih berteman. Aku hanya bisa tesenyum kecut dengan alasan palsumu itu. Jika aku mengingatnya aku tak bisa berkata apa-apa. Jangankan untuk berkata, “aku sakit hati” berkata, “hai” saja ketika bertemu denganmu lidahku kelu semenjak melihat saat itu kau bersamanya. Aku ingin marah ketika kamu memutuskan ikatan yang sudah susah payah aku pertahankan. Tapi sebuah perasaan tidak bisa mengatakan apa apa untuk mengeluarkan semuanya.
Kamu takut aku terlalu masuk dalam hidupmu, mungkin juga kau takut bahwa aku akan menggantikan posisi sahabatmu. Sepenting itu ternyata arti sahabat bagimu. Entah aku harus merasa beruntung pernah mencintai perempuan bersolidaritas tinggi atau bahkan menyesal karena pernah mencintai perempuan yang tak tahu mana bedanya teman rasa pacar. Bahkan kamu tak pernah memberiku kesempatan untuk mengatakan bahwa kau sama sekali tak perlu merasa rugi dalam posisi ini, karena tak akan ada yang bersedia bersaing dengan kawan yang sudah lama berada didalam bagian hidupmu. Aku yang harus mencoba mengubur kuat-kuat rasa menyakitkan itu. Sekali lagi aku gagal membuatmu mengerti. Kamu hanya mengerti jika kamu memutuskan semua ini maka tak akan ada yang tersakiti.
Keputusanmu awalnya membuatku jatuh. Namun, lambat laun aku akan sadar bahwa keputusanmu sangat bijak. Pernah suatu sore aku melihatmu tertawa lepas dengan sahabatmu itu. Kamu selalu tersenyum ketika dia berceloteh riang kepadamu. Sesekali kamu mengelus rambutnya karena tersipu waktu kamu memandangnya dengan lekat. Kamu yang terus menggenggam tangannya seakan akan kau takut ia terlepas. Ah, Lia, maafkan aku yang diam-diam masih memperhatikanmu. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu saat jauh dariku. Samakah sepertiku? Kalau boleh jujur aku ingin bercerita kepadamu bahwa aku cemburu. Ketika kita masih bersama waktu aku bercerita kamu selalu saja kamu mengabaikan dengan cerita baru tentang sahabatmu dengan senyum manismu. Aku sekuat hati mencoba tersenyum setulus mungkin agar kau tersipu, namun sering kali gagal. Justru kamu yang sering membuatku tersipu. Aku sadar aku memang telah merebut banyak hal tentang kebahagiaanmu. Aku terlalu menutup mata jika kamu hanya menganggapku pilihan ketika sahabatmu sedang jauh. Wajah tenangmu sama sekali tak menggambarkan rasa lelah akibat kau menahan rindu. Berbeda sekali denganku. Lihatlah! Aku harus memakai wajah tersenyum agar terlihat kuat. Aku harus belajar bangkit dan tersenyum gar aku juga dapat terlihat baik-baik saja dilepas olehmu.
Bukan perkara siapa yang terlalu jatuh cinta dalam keadaan ini. Bahkan ketika kau membaca tulisan ini kau juga mengerti bahwa perjuanganku untuk memiliki ikatan denganmu tidaklah mudah. Aku diam-diam mengagumimu semenjak kita masih berada dalam awal ketemu. Aku diam-diam terus mengamatimu dari kejauhan. Aku tak berani bertegur sapa denganmu. Aku hanya bisa diam sembari mempelajari keadaan. Aku tak bisa berbuat seperti kebanyakan yang dilakukan orang-orang ketika jatuh cinta. Merayu? Aku takut bukannya kau tersipu malah kamu terganggu. Menyatakan cinta sesungguhnya? Aku yang kodratnya hanya untuk bersabar. Aku hanya dapat menunggu hingga jarak dan waktu bersedia mendekatkan. Hingga waktu itu pun tiba saat kamu berada dalam satu organisasi denganku. Seiring berjalan waktu kita dekat lalu entah bagaimana caranya kamu tiba-tiba mengatakan bahwa aku menyukaimu dan kita memutuskan untuk membuat ikatan yang pada akhirnya menjerat kita terlebih hatimu.
“Bagaimana kalau kita berteman saja, Di?” ucapnya dengan kepala tertunduk.
“Berteman bagaimana maksudmu?”
“Kita ubah ikatan kita menjadi pertemanan saja agar kita lebih bebas dan tidak ada yang tersakiti satu sama lain.”
“Kita bebas? Atau kamu yang ingin bebas sendiri?”
“Aku tak mau membuat keputusan yang salah lagi, aku sadar bahwa aku dibutakan oleh cinta sampai-sampai sahabatku merasa aku berubah. Aku tak mau itu terjadi.”
“Cinta buta? Kamu tidak buta tapi aku yang buta, Di. Benar ini keputusan yang salah jadi pergilah, Di! Jangan membuat sahabatmu kehilangan sama sepertiku juga.” ucapku dengan sedatar mungkin agar aku tak terlihat lemah.
“Kamu pasti mendapatkan yang lebih baik daripada aku, Di. Maaf sudah membuatmu kecewa dan terima kasih sudah mengajariku tentang perbedaan rasa sayang sebagai sahabat atau bukan.”
Aku akan mendapatkan yang lebih baik, Di. Sekarang aku mengerti mengapa ketika seorang perempuan dan laki-laki ketika bersahabat banyak yang kalah oleh perasaan cinta, yang kalah ialah yang jatuh cinta terlebih dahulu, karena dalam persahabatan perasaan nyaman, cinta, dan cemburu terlihat abu-abu. Tak akan ada yang bisa menyalahkan dalam sebuah perasaan cemburu kepada sahabat. Semua perasaan mereka yang lebih dari sekedar sahabat ditutupi oleh alibi “status persahabatan”.
Rasanya memang menyakitkan ketika kita dilepaskan dan sudah terbuang dari pilihan. Namun, bagaimana sakitnya hidup harus tetap berjalan bukan? Aku terlalu sibuk memperbaiki diri di depan matamu. Hingga aku lupa bahwa aku juga memperburuk diri dengan keadaan rapuh seperti ini di depan matamu. Aku butuh waktu untuk melupakan hingga aku harus berdamai dengan ikatan yang benar-benar terputus. Tak ada yang salah memang ketika seseorang yang pernah berdebar pada perasaan kemudian harus terpisah karena suatu alasan harus bersikap layaknya orang tak kenal. Bukan karena masih cinta atau saling menyalahkan. Namun, memang di sudut hati yang paling absurd bernama kenangan terkadang seakan menjadi radius tersendiri untuk membentengi diri kita dengan pencipta kenangan.
Sebenarnya terlepas darimu bukanlah perkara yang mudah. Aku harus mengubur dalam-dalam. Menangis diam-diam. Aku tahu rasanya mendapatkan sesuatu agar ikhlas melepaskan untuk orang lain. Kamu memang benar kita adalah sebuah kesalahan. Aku takkan mengingat rasa sakitnya. Percuma, jodoh sudah ditentukan dalam hati masing-masing orang. Seberapa lama kamu tertawa dengan orang lain, aku akan menunggu tawanya reda. Jika bukan, sederhana kita hanya perlu mengingat jika kita mempunyai serumit masa lalu, saling merasakan dalam diam, kamu diam dengan perasaan lepasmu dan aku diam dengan perasaan rumitku. Kita pernah menjalankan bersama waktu di mana kamu memutuskan untuk mengatakan bahwa sudah waktunya kita berpisah. Kita sudah terlalu lama jauh dan terdiam. Suatu saat nanti dalam kisah ini kamu harus tahu bahwa terkadang laki-laki harus lebih merasa karena pada hal terentu wanita tidak bisa bersuara.
-TAMAT-
Bionarasi Penulis :
Dedi Handhika, lahir pada tanggal 02 Desember 1999 di Bondowoso, Jawa Timur Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam di kampus STAI AT TAQWA, Suka dengan penuh tantangan dan perjalanan yang menghasilkan sebuah pengalaman.
“Jangan jadikan hidup ini seperti angin yang mengikuti arus dan juga seperti batuu yang hanya bisa terdiam diri namun jadilah seperti pohon berdiri namun memiliki manfaat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar