Rabu, 09 Desember 2020

Apakah Tuhan Bersalah ?

Berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ketika melihat situasi dan kondisi saat ini tentu banyak orang yang sepertinya sudah mulai membisukan suaranya  tentang bagaimana kita menyikapi adanya HAM ini. Seolah kita hanya mengetahui eksistensi yang melekat pada HAM tanpa kita mempelajari sebetulnya apa esensi dari HAM itu sendiri. Ketika kita menilik lagi tentang sejarahnya bahwa sejarah HAM tersebut berasal dari dunia barat (Eropa) yang diprakarsai oleh seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke. Dia merumuskan adanya hak alamiah (natural right) yang melekat pada manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik.

Sejarah perkembangan HAM ditandai dengan adanya tiga peristiwa penting yang ada  di dunia barat seperti Magna Charta (1215), Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis. Yang mana dari ketiga gerakan tersebut merupakan suatu bentuk keinginan untuk merubah tatanan ketidakadilan atau dapat juga disebut sebagai pembelaan atas kemaslahatan dan rasa merdeka yang harus dimiliki oleh masyarakat. Sehingga sejak abad ke-20 muncullah konsep hak asasi yang terdiri dari empat macam kebebasan (The Four Freedom). Yang mana konsep tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D Rooselvet yang meliputi : (a) kebebasan untuk beragama / freedom of religion; (b) kebebasan untuk berbicara dan berpendapat / freedom of speech; (c) kebebasan dari kemelaratan / freedom from want; (d) kebebasan dari ketakutan / freedom from fear. 

 Di Indonesia sendiri perkembangan HAM terdiri dari beberapa periode yang diantaranya, periode sebelum kemerdekaan yang mana pada zaman dulu bermunculan organisasi-organisasi seperti Budi Oetomo (1908), Indische Partij (1912), Partai Nasional Indonesia (1927). Organisasi maupun partai tersebut itu muncul karena pada zaman itu masih banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penjajah, maka pada waktu itu Boedi Oetomo menyuarakan tentang kebebasan dan kesadaran untuk mengeluarkan pendapat melalui banyaknya petisi yang ditunjukkan kepada pemerintah colonial  melalui surat kabar. Lanjut pada masa setelah kemerdekaan dan sampai saat ini HAM terus berkembang sehingga melahirkan produk-produk hukum mengenai Hak Asasi Manusia, baik dibidang pendidikan, ekonomi, politik, social dan budaya.

Lalu ketika kita menganalisis pastinya kita bertanya-tanya sudah sampai manakah keberhasilan  adanya HAM di negara ini, apakah semua masyarakat secara definisi HAM sudah mendapatkan hak yang melekat pada dirinya sebagai anugerah dari Tuhan yang sudah tak bisa dibagi lagi, apalagi di masa pandemi ini sebetulnya apa yang membuat masyarakat masih mengeluh tentang dirinya yang masih melarat, menangis, tertindas seolah-olah kita hanya dijadikan sebagai kuda pengangkut barang milik kaum borjouis di istana sana, apakah masyarakat saat ini dengan bekerja selama satu hari dapat bertahan hidup minimal tiga hari, lalu siapakah yang salah dengan keadaan negara yang seperti ini, apakah masyarakat dengan sifat keluguannya yang terlalu polos dengan hanya diam saja ketika kebijakan di negara ini sedang tidak baik-baik saja, apakah pemerintah yang terlalu nyaman dengan kursi lembutnya sehingga tertidur pulas ketika rapat tentang rakyatnya sendiri sehingga seolah keidealisannya hilang berkat zona nyamannya itu, lalu apakah Tuhan juga bersalah dengan semua ini?
Betapa malunya manusia yang sudah diciptakan dengan sempurna oleh Tuhannya, sudah dimuliakan oleh Tuhannya, sudah diberikan segalanya baik jasmani maupun rohaninya, sudah diciptakan berbeda-beda mulai dari suku, ras, agama dan bangsa agar mereka saling mengenal, terlebih akal dan hatinya yang merupakan jiwa kehidupannya sehingga dia sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Dia bisa berpikir dan dia bisa merasa apakah pikiran, gerak dan garuknya berdampak baik ataupun tidak kepada orang lain. Padahal sejatinya Tuhan menciptakan manusia sebagai ‘khalifah fil ardh’ yang ditugaskan mengurus dan menjaga siklus kehidupan di dunia ini. Menciptakan kedamaian antar sesama manusia, saling mengajak gembira sesamanya, apakah masih ada? Atau hanya sibuk beragama tetapi lupa bagaimana caranya bertuhan dengan cara memanusiakan dirinya dan orang lain?
Teringat akan kata-kata yang selalu disampaikan oleh Al maghfurlah Gus Dur, beliau merupakan seorang Ulama’ yang pernah menjabat sebagai presiden di negara ini, dengan waktu yang tidak lama beliau dilengserkan secara inkonstitusional hanya karena inginnya seseorang maupun kelompok yang ingin merebut kekuasaannya. 

Beliau dipertemukan oleh dua keadaan yang mana ketika dia mempertahankan jabatannya maka ribuan orang yang mendukungnya siap mati membelanya, pilihan yang kedua ketika dia memillih untuk melindungi rakyatnya maka siap-siap dia harus  melepas jabatannya. Dengan hal demikian Gus Dur lebih memilih melindungi nyawa rakyatnya meskipun dia harus melepas jabatannya. “ada yang lebih penting dari politik yakni kemanusiaan” tuturnya. Tidak semena-mena orang  yang menjadi pemimpin harus bisa mempertahankan jabatanya sendiri, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa pelayan bagi  rakyatnya, jadi pemimpin tak harus  dibela melainkan seorang pemimpin harus membela rakyatnya karena dia dikatakan  sukses menjadi pemimpin bukan karena dia menang, tetapi karena dia diakui oleh rakyatnya.

Ketika kita berkaca untuk saat ini, seolah kata HAM hanya dijadikan sebagai pajangan dan adagium-adagium receh masyarakat yang telah berpendidikan, khususnya mahasiswa. Saatnya mahasiswa bukan lagi sebagai orang yang berusaha untuk selalu kritis, karena mahasiswa memang kritis atau disebut seseorang yang paling idealis. Tetapi bagaimana mahasiswa itu ketika sudah menempati peran yang strategis di masyarakat mampu untuk mempertahankan ke-idealisannya itu, memperbaiki orientasi kekritisannya itu kemana, agar mahasiswa tidak hanya belajar ilmu filsafat yang nantinya tidak ada orang yang dapat mengalahkan pendapatnya, mahasiswa belajar ilmu hukum agar nanti tidak terkena hukuman, mahasiswa belajar ilmu politik agar nanti mudah untuk mendapatkan kekuasaan, mahasiswa belajar ilmu agama agar nanti  tidak masuk neraka. Hal itulah yang membuat HAM ini tidak berjalan, artinya masih ada rasa individualitas agar hak-hak pribadinya terpenuhi. Jadi seakan-akan dia hidup hanya untuk dirinya sendiri. Tidak bisa mengorientasikan tujuan belajarnya agar dia berguna bagi masyarakat. Atau tidak bisa menempatkan diatas segalanya melainkan hanya terciptanya kebaikan-kebaikan yang ada dilingkungannya yang sejatinya lingkungan itu merupakan dirinya.

Maka perlu untuk saat ini, generasi-generasi penerus bangsa memperbaiki orientasi belajar dan prosesnya agar visi yang menjadi tujuan jangka panjangnya bisa memperbaiki tatanan-tatanan yang hanya menguntungkan sebagian pihak. Perlu kiranya di dalam diri kita sendiri mempunyai sifat kepemimpinan yang sosialis-demokratis. Sosialis bukan berarti komunis tetapi ada rasa beban moral yang harus kita perjuangkan demi tegaknya HAM ini. karena di dalam islam sendiri ada suatu point yang menjadi tuntutan persaudaraan kita selama hidup didunia yakni, ada rasa persaudaraan antar sesama muslim, persaudaraan  antar sesama warga negara dan yang paling tinggi adalah persaudaraan kita antar sesama manusia. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memanusiakan manusia. Demokratis bukan berarti kita hanya berkuasa diatas rakyat, tetapi bagaimana kita menempatkan hak atau kepentingan semata-mata hanya untuk rakyat. 

Ada dua penyakit yang saat ini mulai menggerogoti calon Agent of Change dan Agent of Control yakni, pragmatism dan hedonism. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah saling berkaitan ketika kita pragmatis maka kita hedonis, dikala kita hedonis maka kita juga pragmatis. Dua penyakit tersebut ibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda namun menjadi satu didalamnya tak dapat dipisahkan. Sangat sulit untuk memutus kedua penyakit tersebut, tetapi minimal kita bisa mengurangi penularannya dimulai dari diri kita sendiri menjadi orang yang mandiri, tidak melulu menggantungkan kehidupan kita kepada orang lain, terlebih kita mampu membantu dan membela hak-hak yang harus dimilliki oleh orang lain.
Tuhan sudah tak pantas untuk dibela, melainkan kita cukup memuji dan mengabdi padanya. Tuhan telah memberikan kebaikan di setiap lini kehidupan. Kebaikan tuhan tidak akan nampak ketika kita tidak bisa berlaku baik kepada ciptaannya….

Penulis:
IMRON RASYIDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentingnya Tri Fungsi NDP dalam berorganisasi PMII RBA STAI At-taqwa gelar kegiatan SARANG Avicenna ke-09.

  NDP yang berfungsi sebagai Kerangka Refleksi, Aksi dan Ideologis, merupakan Sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan. Sebagaimana ideol...