Jumat, 18 Desember 2020

Bibir Pantai Selatan.



   Di penghujung tahun ini aku pergi ke Pantai Selatan, aku berdiri di ujung pantai atau yang orang-orang lain biasa sebut sebagai "Bibir Pantai". Di tempat ini aku merenungi semua balada kehidupanku yang kian hari kian melandaku dengan kelam. Aku tengok ombak-ombak mulai menjalar ke bibir pantai, ombak itu hampir menyentuh punggung pantai atau naik ke permukaan daratan. Burung-burung berkicauan dan beterbangan kesana kemari dengan penuh keluwesan hidup, mereka terbang menjamah dan menjelajah semua permukaan laut dan pantai tanpa merasa peliknya hidup yang berakhir pilu.

Entah mengapa setiap kali berkunjung ke Pantai Selatan ini acap kali aku merasa luka serta derita yang kudera selama ini kian sirna dilarung ke tengah laut oleh semilir ombak-ombak tadi, kulihat seorang anak kecil membuat miniatur kastil dari tumpukan pasir. Kreasi sang anak yang penuh imajinasi seolah tanpa tersirat adanya masalah hidup orang dewasa yang mencekkik leher kehidupannya. 

Terbesit dalam Hati kecil ini membayangkan bahwa sang anak kecil itu adalah aku, aku yang makin hari semakin tersiksa sebab merasakan beban hidup yang terus menanti tiada henti, lamunanku menghipnotis kedalam fikiran bawah sadarku seakan-akan aku merupakan jelmaan dari bocah tadi. 

  Disaat aku terbangun dari khayal dan lamunku, aku melanjutkan perjalananku tuk menjelajahi seisi bibir pantai ini guna menghilangkan sisa-sisa balada hidup yang menggerogoti hati dan fikiran. Serta berujung nestapa. Setapak demi setapak ku jajaki jalanan pantai yang berbahankan dari komponen pepasiran. Pasir-pasir basah dan becek ini seolah hendak menghisap kedua belah kakiku yang berusaha menapakinya. Aku menghentikan langkahku pada bebatuan kecil yang menjadi sebuah gigi penyangga pantai. 

Ketika hendak menaikinya aku berpegang pada pepohonan mangrove, konon menurut penjaga pantai disana mengatakan bahwa pepohonan tadi berfungsi sebagai tiang pantai pencegah banjir dan tsunami yang hendak merangkak ke daratan. Kulihat pijar sang matahari kian meredup, rupanya sang mentari tadi sudah hampir tenggelam, ia bergegas tuk istirahat, agar sang rembulan berdaya tuk menggantikan tugasnya di malam hari. Air laut mulai pasang menjorok ke bibir pantai, seakan air yang dibawa ombak itu hendak melahap daratan. 
Ku amati matahari yang terbenam tadi. Terbenamnya sang fajar kedalam perut bumi membuatku semakin terkesima akan ciptaan Tuhan sang raja semesta alam. 

Siang hari kini berganti malam hari. Tak hanya sekadar pergantian rotasi antara mentari dan rembulan sahaja, tapi juga pengunjung disini pun silih berganti. Dalam kalbuku meresapi semua rotasi panorama natural alam ini, agar menjadi sebuah pelajaran hidup yang sangat berarti bagi pribadiku. Bahwa roda kehidupan ini terus berputar tiada henti. 

Hanya kuasa Tuhan yang mampu menghentikan siklus serta rotasi alam ini. Jika sang fajar pagi saja pergi meninggalkan hari sebab kuasa sang ilahi lantas apakah kita hanya akan berlarut-larut dalam kesedihan hati juga kepedihan hidup yang kita alami, yang barang mungkin telah menjadi suratan tangan kita serta pula telah dinisbatkan menjadi nasib badan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentingnya Tri Fungsi NDP dalam berorganisasi PMII RBA STAI At-taqwa gelar kegiatan SARANG Avicenna ke-09.

  NDP yang berfungsi sebagai Kerangka Refleksi, Aksi dan Ideologis, merupakan Sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan. Sebagaimana ideol...