Senin, 21 September 2020

Merawat Pesantren, Merawat NKRI


    Bulan depan. Tepatnya pada tanggal 22 Oktober, kita akan memperingati Hari Santri Nasional (HSN). HSN ini pertama kali ditetapkan oleh Jokowi pada 2015 lalu. Pemilihan tanggal 22 Oktober tersebut, tentu tak lepas dari sebuah sejarah perjuangan para kiai dan santri dalam melawan agresi Belanda pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dimana pada tahun yang sama, setelah Indonesia menyatakan merdeka, Belanda tetap berambisi untuk menguasai Nusantara, dengan melncarkan agresi meliter.
    Menyikapi agresi kedua Belanda itu. Ratusan kiai bermusyawarah. Kemudian pendiri Nahdlatul Ulama. KH Hasyim Asy’ari mengumumkan fatwa yang disebut “resolusi jihad’. Dalam fatwa tersebut ditegaskan, bahwa setiap Muslim wajib memerangi penjajah. Para pejuang yang gugur dalam melawan penjajah dianggap mati syahid. Sebaliknya, yang membela penajajah wajib dihukum mati.
    Dari uraian singkat di atas, kiai (baca: ulama) sebagai center power, pusat komando di kalangan pesnatren dan masyarakat, dengan tegas membela dan siap bertaruh nyawa demi merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukkan, bahwa peran pesantren, dalam hal ini kiai dan santri, sangat besar dalam mempertahankan dan merebut kemerdekaan NKRI. Maka jiwa cinta tanah air (di kalangan santri disebut hubbul wathon), adalah prinsip yang mengalir bersama denyut nadi kiai dan santri.
    Apakah setelah merebut kemerdekaan, pesantren hanya diam? Tidak. Sampai saat ini, fatwa Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari itu, tetap terpatri di dalam jiwa para santri dan kiai. Bahwa menjaga tanah air adalah kewajiban. Bahkan kalangan pesantren meyakini cinta tanah air adalah sebagian dari iman (hubbul wathon minal iman).
    Apa yang diakukan pesantren saat ini? Selain mengajarkan ilmu agama, pesantren tak pernah bosan membentengi para generasi muda (baca: santri) dari paham-paham radikalisme, kelompok kanan yang membabi-buta dan anti NKRI. Sebab kalangan pesantren sangat sadar, bahwa saat ini bukan lagi agresi senjata, tapi lebih tak kasat mata adalah serangan ideologi, yang sangat membahayakan keutuhan NKRI. Ini perjunagan pesantren saat ini.
    Pesantren dengan segala komplesitasnya dalam membantu pemerintah, tak pernah ada di Negara manapun. Mungkin juga tak akan pernah ada. Hanya satu, di Indonesia. Negara dengan muslim terbesar. Negara dengan Islam yang khas dan tegas. Negara yang mungkin disebut oleh Al-Quran. Baldahtun Toyyibatun wa Rabbun Ghafur. Dimana tak hanya kalimat Allah yang diperjuangkan tapi juga territorial (negera) dimana agama Allah itu ditegakkan. 
    Saat ini, total ada 28.961 pesantren di Indonesia. Terbesar tersebar di tanah Jawa. Mungkin angka itu lebih sedikit jika harus menghitung pesantren ke pelosok-pelosok nusantara. Namun demikian, angka itu sangat luar biasa. Puluhan ribu pesantren dengan total puluhan juta santri itu, adalah aset bangsa ini. Mereka tak dibekali ilmu agama, cinta NKRI, etika dan segala bidang ilmu pengetahuan lainnya seperti sains dan teknologi. 
    Maka aset itu harus dijaga dan dirawat bersama dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sebab pesantren adalah perwajahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesantren adalah “kerajaa-kerajaan” yang berada di Naungan NKRI dan siap membela keutuhannya. Maka merawat pesantren sama halnya dengan merawat NKRI.



Penulis : Kotijah ( Anggota PMII Rayon Avicenna STAI At-Taqwa Bondowoso)

                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pentingnya Tri Fungsi NDP dalam berorganisasi PMII RBA STAI At-taqwa gelar kegiatan SARANG Avicenna ke-09.

  NDP yang berfungsi sebagai Kerangka Refleksi, Aksi dan Ideologis, merupakan Sublimasi nilai keislaman dan keindonesiaan. Sebagaimana ideol...